Ketika cahaya tauhid
padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti
akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit
dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid.
Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus
seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di
tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari
para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi
Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira
yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah
SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan
keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai
bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin
bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya
Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman
mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi
alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk
kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku
tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat
dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga
ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita
Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang
dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau
saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul
Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan
ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar
biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum
lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali
bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini,
Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan
perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya
perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga
ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul
Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun
yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan
cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur,
tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di
sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul
Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia
memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang
mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari
pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan
bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari
terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui
orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali
sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ
ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib
terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah
oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan
NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui
bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak.
Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat menolong dan
memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada
saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang
terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk
melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi
dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan
suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh
anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih
salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu
langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun,
istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan
anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul
Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian
Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam
mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu
anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling
kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka
mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah
saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia
telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah
menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya
lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman
yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah
gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy
berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus
disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami
tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya
kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan
kami bertanya kepada dukun."
Abdul
Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang
kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh
ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian
dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang
besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul
Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar
nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi
sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu,
datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus
ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga
korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh
binatang-binatang buas.
Abdul
Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia
menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab,
kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab,
dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah
binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda
yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah
api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu
mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan
antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan
manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas
dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di
rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan
berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan
perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah
kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal
kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi
bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa
itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya.
Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah,
dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah
bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh
lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan
hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke
istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya,
mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia
menetapkan kematian baginya.
Tidak
lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang
sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali
ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang
dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia
dilahirkan.
Anak
yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir
serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang
terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat
kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah
hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun
telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang
turnbuh bersama kehausan.
Kemudian
kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu
mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya
tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin
yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah,
dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini.
Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin
dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati
Mekah.
Abrahahh
adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada
Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu
gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya
dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah.
Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan
ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik
seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia
berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak
menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia
menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata,
kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan
Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita
gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut.
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala,
meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan
terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak
Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan
pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk
Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan
orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang
yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi
pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan
kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan
Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail
bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan
berhasil menawan Nufail.
Kemudian
ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa
orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata
kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan
maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka
membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah.
Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia
merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim.
Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan
pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan
utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu,
Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka,
namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu
menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahahh.
Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak
memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci,
dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi
Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul
Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia
memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia
duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul
Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah
agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku"
Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa
kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat
berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang
merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu
adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah
dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan
unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang
Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di
gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti
Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat
turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul
Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan
sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan
meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan gajah-gajah
tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di tempatnya dan
menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi
gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun.
Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan
kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya
terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari
saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari
bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat
pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat
sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi
cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung
yang banyak.
Gajah-gajah
semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut
itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa.
Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu
yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika
Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana
peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak
diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat
belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa
pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para
tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari
tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan luka dan
mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad para
pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di
Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap
tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti
daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan
gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka
dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang
tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang
menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung
Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar
tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu
menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman,
yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang
demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah
yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti
Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu
belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul
Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta.
Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia
mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi
yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang kehendak
Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan mukjizat yang
mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan yang
tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu
itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana
Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang
mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di
muka bumi.
Di
tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan
selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah
keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat
dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya
namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah
hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin
hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak
kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib,
seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum
ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia
sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi
ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap
kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah
ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat
Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan
setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang
khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi
oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka
menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika
jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur
suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya separo
dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air
yang jernih dari jantung gurun yang paling besar ketandusannya di dunia,
yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut,
dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat penduduk
bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun
orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di
tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung
jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta,
keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah
dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang
dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat
dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat
itu mengalami titik terendah.
Sementara
itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh
orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan diri dari
penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan
srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan
monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan
memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Para
cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas
sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan
menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk
memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan
sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah
batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair
lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab
hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah
pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan
mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal
muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta
kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi,
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam
ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan
di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang
lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi
sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri
Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di
tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana
terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara
itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan memberikan
keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan
dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan
menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani,
sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi. Meskipun
mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan
mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka
terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan
yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan
seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di
tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah
oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia,
bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua
sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama
manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak
hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti
hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan
kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran
Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan
dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang
bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara
Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk
menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah
Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah
sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah
kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat
beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu
kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya,
mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada
kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani
yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT.
Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat
Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai
mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar
biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan
Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan
kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad
saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta
kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan
setelah kehidupannya.
Ketika
Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan
mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang
hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu adalah
bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik
dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman
sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi
padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan
singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru
mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana.
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di
jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan
hilang.
Di
saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat.
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud.
Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat
dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah
masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan
menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para
nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam
menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang
besar.
Pada
masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum
tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan
ketulusannya.
Allah
SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk
mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat,
atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui
hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi
mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas
kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan
Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah
beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan
matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau
tidak membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung
Islam dan mengancamnya.
Dakwah
para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa
kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera
menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan
masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah
hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak
terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu
menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam
adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah
memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya
menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah
tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana
mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang
menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di
tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum
datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai
lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami
oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi
mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di
saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun
demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan
dan wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku
atas Yunus bin Mata."
Melalui
pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang
harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki
derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal
atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal
itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim
hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya mereka
berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama Allah
SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama
Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga
bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk
shalawat itu sendiri.
Sementara
itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun
gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga
kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke
tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di
Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau
dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung
menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam
telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama
yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk
menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan
kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad
atau Ahmad.
Orang-orang
Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan
kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara
yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak
umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul
Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang
biasa dipakai di kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin
Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami
tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk
menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas
kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas
kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan
yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari
suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa
menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan
layak menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh
Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin
Abdillah.
Nabi
Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah
SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab
kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia
mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang
tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya
sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan
mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya
dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu,
saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian,
dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi
penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul
beban risalah terakhir.
Selanjutnya,
ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa
banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk
mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di
mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar
anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh
mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak
lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa
menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah
kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya
bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan
kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami
kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan
menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak
yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang
yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua
disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman
karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia menangis karena
tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis karena
kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya,
kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari
anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka
mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu
Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari keluarga
yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara
tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena
aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu
untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di
samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu.
Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap
anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah
tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur
dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa
pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui
itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan
agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang
lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah
mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan
yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar
agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia
tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa
pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk
menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan
wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka
Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia
sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah
kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi
Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara
kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa
kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar
dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah
SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk
zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah
kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum
lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan
dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan
kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan
buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu
binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya
kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah
datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya
kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan
cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada
suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai
Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah
berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali
ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan
tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti
bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira
ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh
pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika
anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga
ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan
perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang
ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama
anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup
udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad
sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi
telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad
bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci
hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan
bagian dunia darinya.
Seperti
biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan
menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad
diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua
orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar
hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil
berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan
Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan
kedua matanya menyala.
Halimah
dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih
sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad
menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku
dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih.
Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun
ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang
memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya
jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan
Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini.
Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar
klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan
oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. "
(QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa
seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan
tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia
biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi
cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan
Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan
tersebut.
Dengan
demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau
ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin
Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara
kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya
dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga
berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah
SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan
kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah
sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan
peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa
tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan
Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam
angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui
alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia
lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya
pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan
kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika
aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan
antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah
antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau
melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas
yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami
kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan
kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra'
dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan
mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan
tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada,
berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya
digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak
keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah
hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama
Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat
terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah
mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau
menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau
berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan
diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka
lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian
Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau
hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan
yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya
yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di
Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter
di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini,
Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di
Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya
meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan
yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya
terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air
mata ibunya yang diam.
Selesailah
masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di
pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia
kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang
yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan
kekasihnya, Allah SWT.
Sang
ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang
pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil
yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat
berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia
dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati
kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah
saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku.
Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan
adalah temanku."
Allah
SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau
dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak
kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku.
Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan
penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah
berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik
yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu
kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti
layaknya orang dewasa.
Kita
tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT
mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah,
kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT
ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang
semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya
dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan
penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu
Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana
Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi
setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya
agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT
menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang
terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah
SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak
mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya
di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan
Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang seorang
manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah
kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna
ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim
lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah
SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT
memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak
pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT
telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya
mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang
biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun
yang duduk selainnya.
Muhammad
bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman
keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh
kabilah.
Muhammad
bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin
dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali
jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau
sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya
terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya
bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya;
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat
melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di
dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan
dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat
selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar
dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya
Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas,
kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang
dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan
masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh
masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah
dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia
mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup,
dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak
sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami
kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau
tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau
belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar
bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin
segera menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan
jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang
dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam
menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan
kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya
selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak
kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang
berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan
kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang
suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan
rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada
binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk
burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada
makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan
memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang
fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar
karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad
saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka
beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa,
dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam
saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada
saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap
anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya.
Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang
menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu
awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru.
Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat
mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang
putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke
dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam
buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera
memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus
seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk
jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada
Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal
kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada
peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya
dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini.
Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka
adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam
kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia
tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami.
Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh
aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami
dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy
berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka
berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan
dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati
tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah
sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad
bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata:
"Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau
memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin
mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu
menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi
Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya."
Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak
kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira
bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog
tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam
ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka.
Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang
Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana
disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah
itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia
bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya
masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan
ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah
kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya
tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya.
Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang
dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau
tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang
mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi
sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak
mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi
meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga
pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan
yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa
hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta
kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit
berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali
ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan
keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya;
ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia
dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih
sayang, dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya,
sehingga kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan
kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari
penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan
beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang
berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena
sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada
tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat
untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan
mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau
menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada
Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar
ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan
para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat
tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh
Muhammad saw.
Hari
demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu,
kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah
lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah
menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat
azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin
Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur
dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan
oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga
dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait
syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah
telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang
besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua
tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan
keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta
kebesaran-Nya.
Pada
tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya
yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat
puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup
harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang
mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah
mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju
Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan
kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya,
Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya.
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau
berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana
beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang
diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta
Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya
memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan
getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat
perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan
seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik
dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta
adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar
untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya
tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan
yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu. Kemudian
usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih
untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah
SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai
mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu
semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan
semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu
yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di
atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak
ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia
termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira
beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau
risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang
lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya?
Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya
yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud
saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam
dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan
uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan
kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah
tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang,
tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang
bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela
manusia dan kehormatannya.
Pada
suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan
dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat
tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil
berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia
meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk
membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat
yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca.
Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku
baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada
beliau:
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul
secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang
luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar
panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari
ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya
dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan
kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan
beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah
beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat
wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan
dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki
rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada isterinya:
"Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah
bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira
yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan
kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi
Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau
adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama
beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah.
Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa
Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana
matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan
Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa
aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada
seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu
niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah,
akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan
Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim
yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam?
Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah
SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai
Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam
keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan
Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang
lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam
tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk
kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan
tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia
di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas
ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di
mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman
tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang
bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu.
Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa
mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"'
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian.
Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari
mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan
rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan
manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Nabi Muhammad Saw (Bagian I)
Penulis By Unknown on November 25, 2015 | No comments
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya