Untuk beberapa saat,
Fir'aun disibukkan dengan problem baru ini, tetapi Fir'aun adalah
Fir'aun. Ia tetap memakai busana kesombongannya; ia tetap menyiksa Bani
Israil, menghina mereka dan menodai kehormatan wanita-wanita serta
membunuh anak-anak. Akhirnya, tibalah waktunya bagi Allah SWT untuk
bersikap keras kepada keluarga Fir'aun. Allah SWT menurunkan bencana
kepada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan azab sehingga mereka
mengurungkan niat untuk menghancurkan Musa dan laki-laki mukmin itu, dan
sebagai pembuktian atas kebenaran kenabian Musa. Allah SWT menurunkan
tahun-tahun yang kering dan tandus kepada orang-orang Mesir di mana bumi
tampak kering kerontang dan sungai Nil pun mengering hingga buah-buahan
jarang sekali ditemukan dan harga semakin mencekik leher. Akibatnya,
kelaparan melanda di sana-sini. Dalam keadaan demikian, orang-orang
Mesir menganggap bahwa kehidupan mereka terancam. Adalah hal yang maklum
bahwa siksa yang seperti ini akan selalu menimpa manusia ketika mereka
berpaling dari keimanan dan takwa.
Allah SWT berfirman:
"Jikalau
sekitarnya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya." (QS. al-A'raf: 96)
Hukum yang lama
diberlakukan atas penduduk Mesir karena dua sebab: pertama, sikap dingin
mereka terhadap pembunuhan yang dilakukan Fir'aun kepada para tukang
sihir, kedua, sikap dingin mereka terhadap kelaliman penguasa mereka.
Aneh sekali ketika kaum Fir'aun mengembalikan masa paceklik ini dan
musibah kelaparan ini pada suatu sebab yang sangat mengherankan. Mereka
mengatakan bahwa apa yang menimpa mereka karena kesialan yang dibawa
oleh Musa. Kelaparan yang melanda mereka, kefakiran, dan kekurangan
buah-buahan yang mereka rasakan saat ini adalah disebabkan oleh adanya
Musa di tengah-tengah mereka.
Kemudian kefakiran mereka semakin
meningkat dan mereka semakin menjauh dari kebenaran. Mereka meyakini
bahwa sihir Musa adalah yang bertanggung jawab terhadap apa yang menimpa
mereka pada musim paceklik ini. Mereka mengira dengan kebo dohan mereka
bahwa kekeringan yang melanda negeri mereka adalah sebagai alat atau
kekuatan yang digunakan oleh Musa untuk menyihir mereka. Namun perlu
diperhatikan bahwa pemikiran demikian tidak mewakili pemikiran umumnya
masyarakat saat itu, tetapi pemikiran ini datang dan dihembuskan oleh
kelompok-kelompok yang berkuasa. Akhirnya, Allah SWT menurunkan azab
yang lebih keras kepada mereka. Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan
(mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan,
supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada mereka
kemakmuran, mereka berkata: 'Ini adalah karena (usaha) kami.' Dan jika
mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada
Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan nereka
tidak mengetahuinya. Mereka berkata: 'Bagaimanapun kamu mendatangkan
keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu maka,
kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.' Maka Kami kirimkan kepada
mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang
jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum
yang berdosa. (QS. al-A'raf: 130-133)
Allah SWT mengirimkan
berbagai macam azab dengan harapan agar mereka kembali kepada Allah SWT
dan melepaskan Bani Israil serta membiarkan mereka pergi bersama Musa.
Allah SWT mengirim topan kepada mereka. Setelah masa paceklik, datanglah
tahun yang penuh dengan air sehingga bumi pun tenggelam dengan air
sehingga mereka tidak dapat bercocok tanam. Setelah mereka disiksa
dengan sedikitnya air maka kali ini mereka mendapatkan limpahan air yang
luar biasa. Mereka segera datang kepada Nabi Musa sambil berkata:
"Dan
ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun
berkata: 'Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan
(perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari kami, pasti
kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi
bersamamu.'" (QS. al-A'raf: 134)
Kemudian Nabi Musa berdoa
kepada Tuhannya sehingga azab disingkirkan dari mereka. Air yang
memancar dengan dahsyat itu berhenti dan bumi kembali mengambil air yang
cukup sehingga layak untuk dibuat bercocok tanam. Nabi Musa meminta
kepada mereka untuk mewujudkan janji mereka, yaitu melepaskan tawanan
Bani Israil. Tapi mereka tidak memenuhinya. Kemudian datanglah tanda
kebesaran yang lain yaitu dalam bentuk turunnya belalang. Allah SWT
mengirim sekawanan belalang yang memenuhi tanaman dan buah-buahan.
Ketika belalang-belalang itu terbang maka tanaman-tanaman mereka dan
buah-buahan mereka tersembunyi dari pandangan karena saking banyaknya
belalang-belalang itu. Belalang itu memakan makanan orang-orang Mesir.
Melihat
keadaan demikian, mereka pun pergi ke Musa dan meminta kepadanya agar
berdoa kepada Tuhannya agar menyingkirkan siksaan ini dari mereka dan
mereka berjanji untuk melepaskan padanya Bani Israil. Nabi Musa pun
lagi-lagi berdoa kepada Tuhannya sehingga Allah SWT menyingkirkan azab
itu dari mereka. Dan belalang-belalang itu kembali ke tempat asalnya.
Mereka dapat menanami kembali bumi dengan baik. Lalu Nabi Musa meminta
kepada mereka untuk melepaskan Bani Israil namun mereka
menunda-nundannya sehingga Nabi Musa mengetahui bahwa sebenarnya mereka
tidak serius untuk memenuhi janji mereka.
Kemudian datanglah
siksaan Allah SWT yang lain, yaitu dikirim-Nya berbagai macam hama.
Tersebarlah hama yang membawa penyakit. Lagi-lagi mereka datang kepada
Nabi Musa dan mengulangi janji mereka dan Nabi Musa pun berdoa kepada
Allah SWT. Kali ini mereka pun tetap mengingkari janji mereka. Lalu
datanglah siksaan Allah SWT yang lain dalam bentuk dikirim-Nya katak di
mana bumi dipenuhi dengan katak. Katak itu melompat-lompat ke sana-sini
dan memenuhi makanan orang-orang Mesir serta berada di rumah mereka
sehingga mereka sangat terganggu dengan kehadiran katak-katak liar itu.
Lagi-lagi mereka menemui Nabi Musa dan kembali mengulangi janji mereka
dan meminta padanya agar ia berdoa kepada Tuhannya agar Allah SWT
menyingkirkan azab dari mereka. Tetapi mereka pun tetap mengingkari
janji mereka.
Selanjutnya, Allah SWT menurunkan azab yang lain
yaitu darah di mana sungai Nil berubah menjadi darah sehingga tidak
seorang pun dapat meminumnya. Kita ketahui bahwa mukjizat-mukjizat
pertama berupa sesuatu yang biasa terjadi pada tanaman. Berkurangnya air
Nil atau bertambahnya air tersebut atau serangan belalang atau hama dan
katak, semua ini adalah bukan hal baru bagi orang-orang Mesir. Yang
baru adalah kejadian ini terjadi dengan sangat tiba-tiba dan sangat
mencekam. Sedangkan mukjizat atau azab yang lain adalah azab yang tidak
biasa terjadi di daerah Mesir, yaitu azab yang belum pernah terjadi
sebelumnya di mana air sungai Nil berubah menjadi darah.
Perubahan
sungai itu menjadi darah hanya terjadi di kalangan orang-orang Mesir
sedangkan Musa dan kaumnya dapat meminum airnya seperti biasanya. Namun
ketika seorang Mesir memenuhi tempat gelasnya dengan air maka ia akan
mendapati bahwa gelasnya penuh dengan darah. Melihat peristiwa tersebut,
orang-orang Mesir terguncang sebagaimana istana Fir'aun juga terguncang
melihat siksa yang mengerikan dan baru ini. Lagi-lagi mereka menuju ke
Nabi Musa dan meminta kepadanya agar berdoa kepada Tuhannya dan mereka
berjanji pada kali ini untuk membebaskan orang-orang Bani Israil. Nabi
Musa pun berdoa kepada Tuhannya sehingga azab itu disingkirkan dari
orang-orang Mesir. Meski demikian. istana Fir'aun tidak mengizinkan Musa
untuk menemui kaumnya dan pergi bersama mereka. Lalu bagaimana sikap
Fir'aun sendiri? Fir'aun tetap menunjukkan pembangkangannya dan
kesombongannya. Fir'aun mengumumkan di tengah-tengah kaumnya bahwa dia
tuhan. Bukankah—kata Fir'aun—dia memiliki kerajaan Mesir dan
sungai-sungai ini mengalir di bawah kekuasaannya? Fir'aun memberitahu
bahwa Musa adalah tukang sihir yang bohong dan ia hanya seorang fakir
yang tidak mampu menggunakan satu kalung emas dan satu gelang emas.
Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat-mukjizat
Kami kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata:
'Sesungguhnya aku adalah dari utusan Tuhan seru sekalian alam. Maka
tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-mukjizat Kami
dengan serta merta mereka menertawakannya. Dan tidakkah Kami perlihatkan
kepada mereka sesuatu mukjizat kecuali mukjizat itu lebih besar dari
mukjizat-mukjizat sebelumnya. Dan Kami timpakan kepada mereka azab
supaya mereka kembali (kejalan yang benar). Dan mereka berkata: 'Hai
ahli sihir berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami sesuai
dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu; sesungguhnya hami (jika
doamu dikabulkan) benar-benar akan nienjadi orang yang mendapat
petunjuk. Maka tatkala Kami menghilangkan azdb itu dari mereka, dengan
serta merta mereka memungkiri (janjinya). Dan Fir'aun berseru kepada
kaumnya (seraya) berkata: 'Hai kaumku, bukankah herajaan Mesir ini
kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka
apakah kamu tidak melihat(nya)?' Bukankah aku lebih baik dari orang yang
hina ini dan yang hampir tidak dapat dijelaskan (perkataannya)? Mengapa
tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang
bersama-sama dia untuk mengiringkannya.' Maka Fir'aun mempengaruhi
kaumnya dengan (perkataannya itu) lalu mereka patuh kepadanya.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (QS. az-Zukhruf: 46-54)
Perhatikanlah
ungkapkan Al-Qur'an: Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya dengan
(perkataannya itu) lalu mereka patuh kepadanya. Fir'aun memenjara akal
mereka, membelenggu kebebasan mereka, dan menutup masa depan mereka yang
cerah. Fir'aun menodai kemanusiaan mereka sehingga mereka menaatinya.
Bukankah ketaatan ini aneh? Namun keanehan ini hilang ketika kita
mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang fasik. Kefasikan
menja-dikan seseorang tidak peduli dengan masa depannya dan
kepentingannya serta urusannya. Pada akhirnya, ia akan mendapati
kehancuran. Demikianlah yang terjadi pada kaum Fir'aun.
Allah SWT berfirman:
"Maka
tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereha lalu Kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai
pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian." (QS. az-Zukhruf:
55-56)
Tampak jelas bahwa Fir'aun tidak beriman kepada Musa.
Fir'aun tidak menghentikan usaha untuk menyiksa Bani Israil dan ia tetap
merendahkan kaumnya. Maka melihat kenyataan yang demikian, Musa dan
Harun berdoa buruk untuk Fir'aun:
"Musa berkata: 'Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka
kaumnya dengan perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya
Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) darijalan Engkau. Ya
Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati
mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang
pedih.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan
kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua padajalan yang lurus dan
janganlah sekali-kali mengikuti jalan orang-orang yang tidak
mengetahui.'" (QS. Yunus: 88-89)
Kemudian datanglah izin kepada
Nabi Musa untuk meninggalkan Mesir dengan disertai oleh kaumnya yang
mengikutinya. Sikap kaum Nabi Musa sangat aneh. Tidak semua kaumnya
beriman kepadanya. Allah SWT berfirman:
"Maka tidak ada yang
beriman kepada Musa, melaikan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam
keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa
mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu sewenang-wenang di muka bumi. Dan
sesungguhnya dia termasuk orang-orangyang melampaui batas." (QS. Yunus:
83)
Selesailah urusan. Allah SWT telah menetapkan untuk membuat
suatu keputusan hukum terhadap Fir'aun. Allah SWT memerintahkan kepada
Musa untuk keluar dan mengizinkan Bani Israil untuk pergi. Mereka
bersiap-bersiap untuk keluar dan pergi bersama Musa. Mereka membawa
perhiasan-perhiasan mereka lalu datanglah malam kepada mereka. Nabi Musa
berjalan bersama mereka dan menyeberangi Laut Merah dan menuju ke
negeri Syam. Sementara itu, utusan Fir'aun dan intelejennya bergerak.
Sampailah berita kepada Fir'aun bahwa Musa telah pergi beserta kaumnya.
Fir'aun mengeluarkan perintahnya di segenap penjuru kota agar pasukan
yang besar berkumpul. Fir'aun menyampaikan alasan yang aneh di balik
pengumpulan tentara itu sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur'an:
"Dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. " (QS. asy-Syu'ara': 55)
Fir'aun
telah naik pitam melihat aksi Musa. "Secara pribadi aku telah marah
padanya. Jumlah mereka sedikit namun kemarahan kita terhadap mereka
sungguh banyak. Kalau demikian, ini adalah peperangan." Fir'aun
benar-benar seorang penjahat kelas kakap. Ia tidak berusaha
menyembunyikan niatnya di balik kata-kata besarnya. Misalnya, secara
diplomatis ia dapat mengatakan bahwa keamanan kerajaan terancam atau
sistem ekonomi akan hancur jika para pekerja ini yang digaji dengan
sangat murah ini akan keluar. Fir'aun tidak mengatakan semua itu tetapi
ia hanya menyatakan bahwa ia sedang emosi. Nabi Musa membuatnya naik
pitam dan ini sudah cukup untuk mengeluarkan perintah agar para tentara
dikumpulkan. Manusia membenarkan tindakan Fir'aun untuk seribu kalinya
setelah membohongkannya. Tiada seorang pun yang menentangnya dan tidak
ada seorang pun yang mempersoalkan sebab sepele di balik pengumpulan
tentara itu.
Akhirnya, bergeraklah tentara Fir'aun dengan
membawa persenjataan yang lengkap dan mereka berusaha mengejar Nabi
Musa. Fir'aun duduk di atas kendaraan perangnya dan mengawasi tentara di
sekitamya sambil tersenyum. Barangkali ia membayangkan, jika sejak
semula ia melakukan itu maka gerak-gerik Musa akan dapat dipatahkannya
dan ia dapat membunuhnya. Alhasil, ia sekarang berada di jalan untuk
menangkap Musa dan membunuhnya dan menyelesaikan masalah seluruhnya.
Nabi
Musa berdiri di depan Laut Merah. Tampak dari kejauhan bahwa debu yang
ditebarkan oleh tentara Fir'aun mulai mendekat. Lalu setelah itu tampak
panji-panji tentara. Melihat hal itu, kaum Nabi Musa merasakan
ketakutan. Mereka menghadapi situasi sangat sulit dan berbahaya: di
depan mereka ada laut sementara di belakang mereka ada musuh. Mereka
tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk berperang dengan pasukan
Fir'aun karena mereka hanya terdiri dari wanita-wanita, anak-anak kecil,
dan orang-orang lelaki yang tidak bersenjata. Fir'aun akan menyembelih
mereka semuanya.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan dari kaum Nabi
Musa: "Fir'aun akan menyusul kita dan menangkap kita." Nabi Musa
berusaha menenangkan mereka sambil berkata: "Tidak. Sesungguhnya Tuhanku
bersamaku dan Dia pun akan membimbingiku." Kita tidak mengetahui
bagaimana perasaan Nabi Musa saat itu atau apa yang dipikirkannya. Yang
jelas, ia tidak mendapat kepercayaan seperti ini kecuali setelah Allah
SWT mewahyukan kepadanya agar ia memukulkan tongkatnya ke lautan itu.
Kemudian Nabi Musa pun memukulkan tongkat yang dibawanya kepada lautan
itu.
Demikianlah bahwa kehendak Allah SWT pasti terlaksana
meskipun harus bertentangan dengan logika manusia. Allah SWT ingin
menunjukkan mukjizat, kemudian Allah SWT mewahyukan kepada Musa untuk
memukulkan tongkatnya kepada lautan. Pemukulan tongkat terhadap lautan
hanya sekadar sebab yang kemudian diikuti dengan terbelahnya lautan.
Belum sampai Nabi Musa mengangkat tongkatnya sehingga malaikat Jibril
turun ke bumi lalu Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke lautan. Tiba-tiba
laut itu terbelah menjadi dua bagian: satu bagian menjadi kering
kerontang di mana di sebelah kanannya terdapat ombak dan di sebelah
kirinya juga terdapat ombak. Nabi Musa bersama kaumnya berjalan sehingga
mereka dapat melewati lautan. Ini adalah mukjizat yang sangat besar.
Ombak bergelombang: meninggi dan menurun sehingga tampak ada tangan
tersembunyi yang mencegahnya agar jangan sampai menenggelamkan Nabi Musa
atau bahkan membasahinya sekalipun.
Demikianlah Nabi Musa dan
kaumnya berhasil melewati lautan. Sementara itu, Fir'aun sampai ke
lautan. Ia menyaksikan mukjizat ini. Ia melihat lautan terdapat jalan
keringyang terbelah menjadi dua. Fir'aun saat itu merasakan ketakutan
tetapi lagi-lagi keras kepalanya dan pembangkangannya tetap menyalakan
api peperangan sehingga ia menyuruh pasukannya untuk maju. Ketika Musa
selesai menyeberangi lautan, ia menoleh ke lautan dan ia ingin
memukulkan dengan tongkatnya sehingga kembali sebagaimana mestinya,
tetapi Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia membiarkan lautan seperti
semula. Seandainya ia memukulkan tong-katnya kepada lautan dan laut itu
kembali seperti semula niscaya Nabi Musa akan selamat dan Fir'aun pun
akan selamat, sedangkan Allah SWT telah berkehendak untuk menenggelamkan
Fir'aun. Oleh karena itu, Musa diperintahkan untuk membiarkan lautan
seperti semula. Allah SWT mewahyukan kepadanya:
"Dan biarlah laut itu tetap terbelah. Sesungguhnya mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan." (QS. ad-Dukhan: 24)
Fir'aun
bersama tentaranya sampai di tengah lautan. Ia sudah melewati
separuhnya dan ia akan sampai ke tepi yang lain. Kemudian Allah SWT
memerintahkan kepada Jibril. Lalu Jibril menggerakkan ombak sehingga
ombak itu menerpa Fir'aun dan menenggelamkannya beserta tentaranya.
Fir'aun dan tentaranva tenggelam. Pembangkangan telah tenggelam
sedangkan keimanan kepada Allah SWT telah selamat.
Ketika
tenggelam, Fir'aun melihat tempatnya di neraka. Kini. ia sadar dan tabir
telah terkuak di depannya. Fir'aun telah menjemput sakaratul maut. Ia
telah menyadari bahwa Musa adalah seorang yang benar dan ia telah
menyia-nyiakan dirinya dengan menentangnya dan berusaha memeranginya.
Fir'aun berusaha menunjukkan keimanannya.
"Hingga bila Fir'aun
itu hampir tenggelam berkatalah dia: 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).'" (QS. Yunus: 90)
Taubat
Fir'aun tidak berguna dan tidak diterima; taubat yang justru
disampaikan ketika ia menyaksikan azab dan akan memasuki pintu kematian.
Jibril berkata kepadanya:
"Apakah sekarang (baru kamu percaya),
padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan hamu termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus: 91)
Yakni,
tidak ada taubat bagimu. Sungguh telah selesai waktu taubat bagimu dan
engkau telah binasa. Selesailah urusan ini dan tiadalah keselamatan
bagimu. Yang selamat hanyalah tubuhmu dan engkau akan dilemparkan oleh
ombak ke tepi sehingga tubuhmu sebagai bukti kebesaran Allah SWT bagi
orang-orang yang hidup sesudahmu:
"Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi peringatan bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah
dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (QS. Yunus: 92)
Apa yang terjadi pada Fir'aun merupakan sunatullah yang abadi yang terjadi sebagai pelajaran bagi hamba-hamba Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Maka
tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: 'Kami beriman hepada
Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami
persekutukan dengan Allah.'" (QS. al-Mu'min: 84)
Allah SWT menceritakan sikap Fir'aun bersama Musa dalam firman-Nya:
"Dan
Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: 'Pergilah di malam hari dengan
membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian
akan disusuli. Kemudian Fir'aun mengirimkan orang yang mengumpulkan
(tentaranya) ke kota-kota. (Fir'aun berkata): 'Sesungguhnya mereka (Bani
Israil) benar-benar golongan kecil kecil, dan sesungguhnya mereka
membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita
benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga.' Maka Kami keluarkan
Fir'aun dari kaumnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari)
perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah halnya dan Kami
anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Fir'aun dan bala
tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah
kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
'Sesungguhnya kita benar-benar akan disusul.' Musa menjawab:
'Sekali-kali kita tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.' Dan di sanalah Kami dekatkan
golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang
besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda
yang besar (mukji-zat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak
beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Penyayang." (QS. asy-Syu'ara': 52-68)
Tersingkaplah
kejahatan dan kelaliman Fir'aun. Ombak lautan menggiring tubuhnya ke
tepi. Kami tidak mengetahui tepi mana yang dimaksud, yang menggiring
tubuh seseorang yang mengaku dirinya sebagai tuhan; seseorang yang tidak
ada seorang pun yang berani menentangnya. Diduga kuat bahwa ombak
menggiring jasadnya ke tepi barat lalu orang-orang Mesir melihatnya dan
mengetahui bahwa tuhan mereka yang mereka sembah, yang mereka taati
adalah sekadar seseorang yang tidak mampu menjauhkan kematian dari
lehernya.
Setelah itu, orang-orang Mesir mengetahui kebenaran
secara sempurna. Al-Qur'an al-Karim tidak menceritakan kepada kita apa
yang mereka perbuat setelah jatuhnya rezim Fir'aun dan setelah
tentaranya tenggelam; Al-Qur'an tidak menceritakan kepada kita bagaimana
reaksi mereka setelah Allah SWT menghancurkan apa yang diperbuat oleh
Fir'aun dan kaumnya dan apa yang mereka bangun; Al-Qur'an tidak
menyinggung semua itu; Al-Qur'an justru memfokuskan keadaan Musa dan
Harun dan bagaimana peristiwa yang dialami Bani Israil bersama kedua
nabi itu.
Fir'aun Mesir telah mati. Ia tenggelam di hadapan mata
orang-orang Mesir dan Bani Israil. Meskipun ia telah mati, tetapi
pengaruhnya tetap membekas pada jiwa orang-orang Mesir dan Bani Israil.
Sungguh sangat sulit untuk menghilangkan pengaruh kehinaan yang sekian
lama atau sekian tahun tertanam dalam jiwa dan kemudian jiwa itu menjadi
mulia. Fir'aun telah menanamkan pada jiwa Bani Israil sesuatu yang akan
kita ketahui dari ayat-ayat Al-Qur'an. Fir'aun telah membiasakan mereka
untuk mendapatkan kehinaan. Fir'aun telah menghancurkan jiwa mereka
dari dalam. Fir'aun telah merusak suasana rohani mereka yang bersih.
Fir'aun telah merusak fitrah mereka sehingga mereka menyiksa Musa dan
menyakiti Musa dengan sikap penentangan dan kebodohan.
Mukjizat
pembelahan lautan masih segar di pikiran mereka. Pasir-pasir laut yang
basah masih membekas dan masih terdapat dalam sandal-sandal Bani Israil
ketika mereka lewat di depan kaum yang menyembah berhala. Seharusnya
mereka menampakkan kemarahan mereka atas kelaliman terhadap akal, dan
mereka memuji kepada Allah SWT karena mereka mendapatkan petunjuk pada
jalan keimanan dan kebenaran. Tetapi mereka justru menoleh kepada Musa
dan meminta kepadanya agar menjadikan tuhan lain bagi mereka yang dapat
mereka sembah seperti orang-orang itu. Mereka merasa cemburu ketika
melihat orang-orang yang menyembah berhala itu dan mereka pun
menginginkan hal yang sama. Mereka merasakan kerinduan kepada hari-hari
syirik yang lalu yang mereka dapati di bawah naungan Fir'aun. Nabi Musa
mengetahui betapa bodohnya mereka.
Allah SWT berfirman:
"Dan
Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah
mereka sampai pada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani
Israil berkata: 'Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala)
sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).' Musa menjawab:
'Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat
Tuhan).' Sesungguhnya mereka itu akan dihancurhan kepercayaan yang
dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab:
'Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah,
padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. Dan
(ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kamu dari
(Fir'aun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang sangat jahat,
yaitu mereka merribunuh anak-anak lelakimu dan mem-biarhan hidup
wanita-wanitamu. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari
Tuhanmu. " (QS. al-A'raf: 138-141)
Musa berjalan bersama kaumnya
di Saina', yaitu suatu gurun yang di dalamnya terdapat pohon yang dapat
melindungi dari sengatan matahari dan di dalamnya terdapat makanan dan
air. Kemudian rahmat Allah SWT turun kepada mereka di mana mereka
mendapatkan al-Manna dan Salwa dan mereka dinaungi oleh awan. Al-Manna
adalah makanan yang rasanya mendekati manis dan ia dihasilkan oleh
sebagian pohon-pohon yang berbuah di mana angin membawa kepada mereka
rasa demikian ini dari daun-daun pohon. Allah SWT juga mengirim kepada
mereka as-Salwa, yaitu salah satu burung yang bernama as-Saman.
Ketika
mereka merasakan kehausan yang sangat saat di Saina' tidak ada setetes
air pun maka Nabi Musa memukulkan dengan tongkatnya kepada batu sehingga
batu itu memancarkan dua belas mata air. Bani Israil terbagi menjadi
dua belas cucu maka Allah SWT mengirim air tersebut kepada setiap
kelompok. Meskipun mereka mendapatkan kemuliaan dan kehormatan yang
sedemikian rupa, tetapi lagi-lagi jiwa mereka yang sakit tidak dapat
menyadarkan mereka untuk mensyukuri nikmat-nikmat ini. Mereka justru
mendebat Nabi Musa dan mengatakan bahwa mereka bosan dengan makanan ini
dan mereka ingin memiliki bawang merah dan bawang putih serta
kacang-kacangan. Semua makanan ini adalah makanan tradisional Mesir.
Bani Israil meminta kepada Nabi mereka untuk berdoa kepada Allah SWT dan
mengeluarkan dari bumi makanan-makanan ini. Nabi Musa melihat bahwa
mereka menganiaya diri mereka sendiri, dan Nabi Musa menyadari betapa
mereka merindukan kehinaan mereka saat mereka bersama Fir'aun. Mereka
berani menolak makanan-makanan yang baik dan makanan-makanan yang mulia,
dan sebagai gantinya, mereka malah menginginkan makanan-makanan yang
rendah mutunya. Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah ketika kamu
berkata: 'Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam
makanan saja. Sebab itu, mohon-kanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar
Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu:
'Sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya.' Musa berkata: 'Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti
kamu memperoleh apa yang kamu minta.' Lalu ditimpakanlah kepada mereka
nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu
(terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikianlah itu (tetjadi) karena
mereka selalu berbuat durhaka dan rrwlampaui batas. " (QS. al-Baqarah:
61)
Nabi Musa berjalan bersama kaumnya menuju Baitul Maqdis.
Nabi Musa memerintahkan kaumnya untuk memasukinya dan memerangi siapa
pun yang ada di dalamnya serta berusaha menguasai tempat itu.
Demikianlah telah datang ujian terakhir kepada mereka setelah mereka
menyaksikan mukjizat dan ayat-ayat Allah SWT serta hal-hal yang luar
biasa. Telah datang saat ujian kepada mereka untuk berperang—karena
mereka sebagai orang-orang mukmin— melawan kaum penyembah berhala. Namun
kaum Nabi Musa menolak untuk memasuki tanah suci. Nabi Musa berusaha
menyadarkan mereka dengan menceritakan bagaimana nikmat Allah SWT yang
turun kepada mereka; bagaimana Allah SWT menjadikan di tengah-tengah
mereka para nabi dan menjadikan mereka raja-raja yang mewarisi kerajaan
Fir'aun; dan bagaimana mereka diberi suatu kekayaan dan anugerah yang
tidak dapat didapatkan oleh seseorang pun di dalam dunia.
Kaum
Nabi Musa takut kepada peperangan dan beralasan bahwa di dalamnya
terdapat kaum yang perkasa dan mereka tidak akan masuk ke tanah suci
sehingga orang-orang yang kuat itu keluar darinya. Kitab-kitab kuno
mengatakan bahwa mereka keluar dalam jumlah enam ratus ribu. Nabi Musa
tidak dapat mendapatkan seseorang pun di antara mereka yang siap
melakukan peperangan kecuali dua orang. Kedua orang ini berusaha untuk
menyadarkan kaum agar mereka memasuki tanah suci itu dan berperang.
Mereka berdua berkata: "Sungguh hanya sekadar kalian memasuki pintu
darinya maka kalian akan mendapatkan kemenangan." Tetapi Bani Israil
menampakkan ketakutan dan tubuh mereka tampak gemetar.
Pada kali
yang lain—sesuai dengan tabiat mereka—mereka merindukan menyembah
berhala ketika melihat ada kaum yang menyembah berhala. Mereka telah
rusak dan mereka telah kalah dari dalam diri mereka; mereka telah biasa
mendapatkan kehinaan sehingga mereka tidak mampu berperang. Yang tersisa
hanyalah, mereka mampu untuk bersikap tidak sopan pada Nabi Musa as dan
kepada Tuhannya. Kaum Nabi Musa berkata kepadanya dalam kalimat yang
terkenal:
"Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS.
al-Maidah: 24)
Mereka mengucapkan kata-kata tersebut dengan
lantang dan jelas serta tanpa rasa malu. Nabi Musa mengetahui bahwa
kaumnya sangat jauh dari kebaikan. Fir'aun telah mati tetapi pengaruhnya
tetap tertanam dalam jiwa mereka di mana untuk mengobatinya memerlukan
waktu yang lama. Nabi Musa kembali kepada Tuhannya dan memberitahu-Nya
bahwa ia tidak memiliki sesuatu pun kecuali dirinya dan saudaranya. Nabi
Musa berdoa buruk kepada kaumnya agar Allah SWT memisahkan antara
dirinya dan mereka. Allah SWT menurunkan keputusan-Nya kepada generasi
ini yang telah rusak fitrahnya. Yaitu keputusan yang berupa: mereka
disesatkan selama empat puluh tahun sehingga generasi ini mati atau
mereka mencapai usia senja dan kemudian akan lahir generasi yang baru;
generasi yang belum rusak jiwanya dan mereka akan dapat berperang dan
memperoleh kemenangan.
Allah SWT berfirman:
"Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: 'Hai kaumku, ingatlah
nikmat Allak atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan
dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa
yang belum pernah diberikan-Nya kepada seseorang pun di antara umat-umat
yang lain.' Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena
takut kepada musuh) maka kamu menjadi orang-orang yang rnerugi. Mereka
berkata: 'Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang
yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami
akan memasukinya.' Berkatalah dua orang di antara orang-orangyang takut
(kepada Allah) yangAllah telah memberi nikmat atas keduanya: 'Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaklah
kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.' Mereka
berkata: 'Hai Musa, kami sekali-kali tidak memasukinya selama-lamanya
selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu,
dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja.' Berkata Musa: 'Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali
diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan
orang-orang yang fasik itu. 'Allah berfirman: '(Jika demikian), maha
sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun,
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang
Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang fasik itu." (QS. al-Maidah: 20-26)
Dimulailah
hari-hari kesesatan. Mereka melewati tempat yang tertutup. Mereka
memulai dari tempat yang mereka akhiri dan sebaliknya. Alhasil, mereka
berjalan tanpa tujuan sepanjang siang-malam, pagi-sore. Mereka memasuki
daratan di daerah Saina'. Nabi Musa kembali ke tempat yang beliau
bertemu di dalamnya untuk pertama kalinya dengan kalimat-kalimat Allah
SWT. Bani Israil turun dari at-Thur, dan Nabi Musa mendaki gunung
sendirian. Di sana diturunkan Taurat dan Tuhannya berdialog dengannya.
Sebelum Nabi Musa naik untuk bertemu dengan Tuhannya, ia menjadikan
saudaranya, Harun, sebagai khalifahnya untuk kaumnya. Harun diangkatnya
sebagai wakilnya yang bertanggung jawab untuk mengurus kaumnya. Dan Musa
pun pergi menuju Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
"Dan
telah Kami jadikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu
tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh
(malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya
empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun:
'Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah
kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.'" (QS.
al-A'raf: 142)
Orang-orang dahulu mengatakan bahwa Nabi Musa
berpuasa selama tiga puluh hari sepanjang malam dan siang tanpa
mencicipi makanan sedikit pun kemudian Nabi Musa tidak ingin untuk
berdialog kepada Tuhannya sementara mulutnya dalam keadaan seperti mulut
orang yang berpuasa. Lalu beliau memakan sedikit dari tanaman bumi dan
beliau mengunyahnya. Tuhannya berkata kepadanya: "Mengapa engkau
berbuka?" Musa menjawab: "Ya Tuhanku, aku tidak ingin berbicara denganmu
kecuali mulutku dalam keadaan baik baunya." Allah SWT menjawab:
"Tidakkah engkau mengetahui wahai Musa bahwa mulut orang yang berpuasa
di sisi-Ku lebih baik daripada bau misik. Kembalilah engkau berpuasa
selama sepuluh hari kemudian datanglah kepada-Ku." Nabi Musa as pun
melaksanakan perintah-Nya.
Kami tidak mengetahui secara pasti,
mengapa Nabi Musa berpuasa selama empat puluh malam, bukan tiga puluh
hari. Yang kita ketahui bahwa Allah SWT menambah sepuluh hari yang lain.
Setelah itu, turunlah Taurat; turunlah kepadanya sepuluh wasiat:
1. Perintah untuk hanya menyembah kepada AJlah SWT dan tidak menyekutukan-Nya.
2. Larangan untuk bersumpah bohong atas nama Allah SWT.
3. Menjaga kehormatan pada hari Sabtu. Dengan pengertian, memfokuskan hari Sabtu sebagai hari ibadah.
4. Perintah untuk menghormati ayah dan ibu.
5. Menyadari bahwa Allah SWT yang dapat memberi dan membagi.
6. Janganlah engkau membunuh.
7. Janganlah engkau berzina.
8. Janganlah engkau mencuri.
9. Janganlah memberikan kesaksian yang palsu.
10. Jangan engkau merasa tertipu atau terpikat kepada rumah temanmu atau istrinya atau budaknya atau sapinya atau keledainya.
Para
ulama salaf mengatakan bahwa kandungan sepuluh wasiat ini telah
terdapat dalam dua ayat dalam Al-Qur'an, yaitu dalam firman-Nya:
"Katakanlah:
'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua ibu dan bapakmu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang
keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.' Demikian itu yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya. Dan
janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan dengan kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat. " (QS. al-An'am: 151-152)
Allah SWT
menceritakan kepada kita bagaimana keadaan Musa ketika ia pergi untuk
menemui janji dengan Tuhannya. Musa ketika berpuasa selama empat puluh
malam bermaksud untuk lebih mendekat kepada Tuhannya. Ketika Allah SWT
berdialog dengannya, maka Musa merasakan cinta yang semakin bergelora
kepada Tuhannya. Kami tidak mengetahui perasaan apa yang ada di hati
Musa ketika ia meminta kepada Tuhannya agar dapat melihatnya. Seringkali
cinta yang ada di dalam manusia mendorong dirinya untuk meminta sesuatu
yang mustahil. Lalu bagaimana bayangan Anda terhadap cinta yang
berhubungan dengan cinta kepada Allah SWT. Ia adalah hakikat cinta.
Kedalaman perasaan Nabi Musa kepada Tuhannya dan kecintaannya kepada
sang Pencipta, semua ini mendorongnya untuk meminta kepada Allah SWT
agar dapat melihatnya.
Aliah SWT berfirman:
"Dan tatkala
Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa: 'Ya Tuhanhu, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf: 143)
Demikianlah
dorongan cinta dari para pecinta sejati. Musa bertanya dan meminta
kepada Tuhannya sesuatu yang menakjubkan tetapi Allah SWT menjawabnya:
"Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku." (QS. al-A'raf: 143)
Seandainya
Allah SWT hanya mengatakan demikian maka ini pun sebagai bentuk
keadilan dari-Nya, tetapi keadaan di sini adalah keadaan cinta Ilahi
dari Musa. Dorongan cinta yang dibalas dengan dorongan cinta.
Demikianlah Nabi Musa mendapatkan rahmat dari Tuhannya. Allah SWT
memberitahunya bahwa ia tidak akan mampu melihat-Nya karena tak satu pun
dari makhluk yang tidak dapat "menangkap cahaya" dari Allah SWT. Allah
SWT memerintahkannya agar melihat gunung, dan jika gunung itu masih
menetap di tempatnya maka ia akan dapat melihat Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
"Tetapi
lihatlah ke hukit itu, makajika ia tetap di tempatnya (sebagai
sediakaia) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa
pun jatuh pingsan. (QS. al-A'raf: 143)
Tiada seorang pun yang
dapat "menangkap" cahaya Allah SWT. Nabi Musa mengetahui hakikat ini dan
menyaksikan sendiri. Ash'aq adalah al-Maut (kematian) atau al-Ighma'
(keadaan tidak sadarkan diri atau pingsan). Kami tidak mengetahui
bagaimana keadaan yang dialami Nabi Musa ketika ia kehilangan
kehidupannya atau kesadarannya.
"Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan
aku orang yang pertama-tama beriman.'" (QS. al-A'raf: 143)
Para
mufasir klasik cukup serius meneliti dan memperbincangkan ayat-ayat
ini. Misalnya, mereka bertanya-tanya: bagaimana Nabi Musa meminta kepada
Allah SWT agar dapat melihat-Nya, padahal ia tahu bahwa itu adalah hal
yang tidak mungkin atau mustahil. Mereka berselisih pendapat dalam hal
itu dan saling adu argumentasi. Mu'tazilah memiliki pendapat yang lain
dan Ahlusunah pun memiliki pendapat yang lain lagi. Pokok pembicaraan
semuanya berkisar pada: bagaimana seorang nabi tidak mengetahui—padahal
ia adalah makhluk Allah SWT yang paling dekat dengan-Nya— bahwa melihat
Allah SWT adalah hal yang sangat mustahil?
Kami kira bahwa sikap
Nabi Musa tersebut menggambarkan puncak cinta dan kedalaman dari
hatinya, yang ini merupakan gambaran yang tinggi dari sejarah yang
dilalui oleh Nabi Musa. Kita sekarang berada di hadapan puncak cinta
kepada Allah SWT. Dan seorang pecinta tidak menginginkan selain melihat
"wajah" kekasihnya. Menurut logika akal bahwa melihat Allah SWT adalah
hal yang mustahil, tetapi kapan cinta pernah peduli dengan logika itu.
Nabi Musa terdorong untuk mendapatkan pengalaman baru yaitu suatu
pengalaman yang kayaknya ia sengaja melakukannya untuk mewakili kita
semua. Nabi Musa nekat dan mendorong kita untuk meminta. Ia lebih dahulu
meraskan keadaan tidak sadarkan diri dan ia telah membuktikan kepada
kita dengan tubuhnya yang mulia dan rohnya yang suci bahwa tak seorang
pun dapat "menangkap" cahaya Allah SWT. Nabi Musa dalam keadaan tak
sadarkan diri lalu ketika bangun ia memuja-muja Allah SWT dan bertaubat
serta meminta ampun kepadaNya:
"Dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf: 143)
Mengapa
Nabi Musa bertaubat? Orang-orang sufi berkata: Ia bertaubat dari
dorongan cinta yang besar di mana ia meminta sesuatu yang mustahil,
padahal ia menyadari itu adalah mustahil. Ini adalah tafsiran yang
memuaskan yang didukung oleh konteks ayat-ayat tersebut. Perhatikanlah
ayat-ayat (tanda-kebesaran) Allah SWT dan bagaimana Dia mengingatkan
Musa terhadap apa-apa yang diterimanya dari berbagai macam nikmat. Allah
SWT berkata kepada Musa:
"Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih
(melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa
risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. Sebab itu, berpegang
teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan telah Kami tuliskan untuk Musa
pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan
bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): 'Berpeganglah kepadanya
dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya)
dengan sebaik-baiknya.'" (QS. al-A'raf: 144-145)
Ahli tafsir
memperhatikan firman Allah SWT kepada Musa: "Sesungguhnya Aku memilih
(melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa
risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku."
Kemudian
dilakukanlah perbandingan antara Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain.
Dikatakan bahwa pemilihan ini dikhususkan hanya kepadanya dan di
zamannya saja, dan tidak berlaku di zaman sebelumnya karena ada Nabi
Ibrahim di zaman itu, sedangkan Nabi Ibrahim lebih baik dari Nabi Musa.
Begitu juga pemilihan ini tidak berlaku pada zaman setelahnya karena ada
Nabi Muhammad bin Abdilah saw dan ia lebih baik dari mereka berdua.
Kami
ingin menghindari perdebatan ini, bukan karena kami percaya bahwa semua
nabi sama. Memang Allah SWT memberitahu kita bahwa Dia mengutamakan
sebagian nabi atau sebagian yang lain dan mengangkat derajat sebagian
mereka atau sebagian yang lain, tetapi pengutamaan ini adalah hal yang
tidak boleh kita sentuh. Hendaklah kita beriman kepada seluruh nabi dan
kita harus menunjukkan penghormatan kita kepada mereka semua. Adalah
bukan hal yang sopan jika kita mencoba membanding-bandingkan di antara
para nabi. Yang utama adalah, hendaklah kita meyakini dan mengimani
mereka semua. Akhirnya, selesailah perjumpaan Musa dengan Tuhannya.
Kemudian Nabi Musa kembali kepada kaumnya dalam keadaan marah dan
jengkel. Di alam wujud tidak ada seorang manusia yang memiliki
kelembutan dan kerelaan hati yang begitu besar seperti Nabi Musa, tetapi
ia diberitahu oleh Tuhannya bahwa kaumnya telah menyingpang dari
jalannya. Oleh karena itu, ia kembali dalam keadaan marah dan jengkel
kepada mereka. Allah SWT berfirman:
"Mengapa kamu datang lebih
cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa: 'Itulah mereka sedang
menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar supaya
Engkau ridha (kepadaku). Allah berfirman: 'Maka sesungguhnya, Kami telah
menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan
oleh Samiri. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan
bersedih hati. " (QS. Thaha: 83-86)
Musa turun dari gunung dan
membawa papan Taurat. Rasa-rasanya hatinya mendidih dan jengkel. Kita
dapat membayangkan bagaimana emosi yang membakar Nabi Musa saat ia
mengayunkan langkahnya menuju kaumnya. Betapa tidak, belum lama Nabi
Musa meninggalkan kaumnya dan menemui Tuhannya, mereka mendapatkan
fitnah melalui Samiri. Fitnah ini adalah, bahwa Bani Israil— ketika
keluar dari Mesir—membawa banyak dari harta perhiasan orang-orang Mesir
dan emas-emas mereka. Mereka mengambilnya untuk mereka manfaatkan dalam
pesta perayaan mereka. Kemudian mereka selamat karena mukjizat
pembelahaan lautan di mana lautan menenggelamkan Fir'aun dan tentaranya
sehingga harta mereka yang berupa emas dimiliki oleh Bani Israil.
Harun
mengetahui bahwa emas tersebut bukan milik mereka lalu Harun memintanya
dari mereka dan menimbunnya di tanah. Bani Israil tidak memerlukannya
karena saat ini mereka sedang tersesat. Mereka berjalan di tengah-tengah
gurun sehingga tidak bermanfaat bagi mereka emas-emas itu. Harun,
saudara kandung Musa, menggali tanah dan meletakkan emas-emas itu lalu
menimbunkan di atasnya tanah. Samiri melihat apa yang dilakukan oleh
Harun. Setelah itu, dia mengeluarkannya dan membuat sebuah patung sapi
yang menyerupai sapi Ibis sesembahan orang-orang Mesir. Samiri adalah
seorang pemahat yang mahir. Dia mampu membuat anak sapi yang menarik di
mana ketika dia meletakkannya di arah angin maka akan masuk darinya
udara dari celah bagian belakangnya lalu keluar dari hidungnya. Samiri
membuat suara yang menyerupai suara sapi yang sebenamya.
Konon,
rahasia kehebatan sapi ini adalah karena Samiri telah mengambil
segenggam tanah yang dilalui Jibril ketika ia turun ke bumi dalam
peristiwa mukjizat pembelahan laut. Yakni Samiri melihat sesuatu yang
tidak dilihat oleh kaum Nabi Musa. Kemudian dia mengambil segenggam
tanah dari bekas yang dilalui seorang utusan (Jibril) dan meletakkannya
bersama emas. Samiri membuat darinya anak sapi. Jibril as tidak berjalan
di atas sesuatu kecuali sesuatu itu menjadi hidup. Ketika Samiri
menambahkan tanah itu ke emas lalu membuat darinya anak sapi maka anak
sapi itu dapat bersuara seperti anak sapi yang sebenarnya. Demikianlah
kisah Samiri. Kita mengetahui sekarang bahwa jika tanah ditambahkan ke
emas dan melebur maka tanah itu akan terpisah dari emas dan akan
meninggalkan bekas (lubang) di tempat terpisahnya itu. Diduga kuat bahwa
Samiri menggunakan tanah itu seperti tanah yang lain dalam usaha untuk
mengeringkan bagian dalam dari anak sapi di mana patung itu berubah
menjadi patung yang mempunyai suara.
Setelah itu, Samiri keluar
menemui Bani Israil dengan membawa apa yang dibuatnya. Mereka bertanya
kepadanya: "Apa ini, hai Samiri?" Ia menjawab: "Ini adalah tuhan kalian
dan tuhan Musa." Mereka berkata: "Bukankah Musa sedang menemui
Tuhannya?" Samiri menjawab: "Musa telah lupa ia pergi untuk menemui
tuhannya di sana, padahal sebenarnya tuhannya ada di sini." Akhirnya,
Bani Israil menyembah anak sapi ini.
Barangkali pembaca akan
merasa heran terhadap fitnah ini. Bagaimana akal kaum itu dapat tunduk
sampai pada keadaan seperti ini? Bukankah mereka telah menyaksikan
mukjizat yang besar? Bagaimana mereka dengan mudah menyembah berhala?
Kebingungan tersebut segera hilang ketika kita lihat keadaan kejiwaan
kaum yang menyembah anak sapi itu. Mereka telah terdidik di Mesir pada
saat mereka menyembah berhala dan sangat mengkultuskan anak sapi Ibis.
Mereka terdidik di bawah kehinaan dan perbudakan sehingga jiwa mereka
menjadi ternoda dan fitrah mereka menjadi tercemar. Mereka menyaksikan
mukjizat-mukjizat dari Allah SWT tetapi mukjizat itu berbenturan dengan
jiwa-jiwa yang putus asa. Mukjizat ini tidak mampu memuaskan mereka
untuk mempercayai kebenaran. Mereka masih saja dihinggapi keinginan
untuk menyembah berhala. Mereka adalah para penyembah berhala seperti
tokoh-tokoh Mesir yang dahulu. Oleh karena itu, mereka menyembah anak
sapi. Sikap mereka ini tidak terlalu mengagetkan kita. Sebab, setelah
mereka menyaksikan mukjizat pembelahan lautan, mereka melihat suatu kaum
yang menyembah berhala, lalu mereka minta kepada Nabi Musa agar
menjadikan tuhan bagi mereka seperti kaum yang menyembah berhala itu.
Jadi,
masalahnya adalah masalah klasik. Pada hakikatnya, hasrat untuk
menyembah berhala berarti menyembah berhala itu sendiri. Apa yang
dilakukan Samiri adalah, ia memanfaatkan kerinduan kaum untuk menyembah
berhala. Kemudian Samiri memilih agar anak sapi yang diciptakannya
berbentuk emas karena ia mengetahui bahwa umumnya Bani Israil lemah
(mudah terpedaya) pada emas. Akhirnya, fitnah yang ditimbulkan oleh
Samiri tersebar di sana sini. Harun sangat terpukul ketika mengetahui
Bani Israil menyembah anak sapi dari emas. Mereka terbagi menjadi dua
kelompok: minoritas dari mereka beriman dan mengetahui bahwa ini adalah
tipu daya dan kebohongan semata, sedangkan mayoritas mereka mengingkari
Harun dan tetap melampiaskan kerinduan mereka untuk menyembah berhala.
Harun berdiri di tengah-tengah kaumnya dan mulai menasihati mereka. Ia
berkata kepada mereka: "Sesungguhnya kalian tertipu dengannya. Ini
adalah fitnah (godaan). Samiri telah memanfaatkan kebodohan kalian
dengan menciptakan anak sapi itu. Lembu itu bukan tuhan kalian dan bukan
juga tuhan Musa:
"Sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah ahu dan taatilah perintahku." (QS. Thaha: 90)
Para
penyembah anak sapi menolak nasihat Harun. Kelompok orang-orang yang
bodoh itu tidak mau lagi menerima nasihat. Harun kembali memperingatkan
mereka dan menceritakan kembali kepada mereka bagaimana
mukjizat-mukjizat Allah SWT dapat menyelamatkan mereka, dan bagaimana
Allah SWT memuliakan dan menjaga mereka. Tetapi mereka menutup telinga
dan menolak segala nasihatnya. Mereka justru melemahkan posisi Harun dan
nyaris saja membunuhnya. Adalah jelas bahwa Harun lebih lemah daripada
Musa, sehingga para kaum tidak takut lagi. Harun khawatir jika ia
menggunakan kekuatan dan menghancurkan berhala-berhala yang mereka
sembah, maka akan terjadi fitnah di tengah-tengah kaum dan akan tercipta
perang saudara. Akhirnya, Harun memilih untuk menunda hal itu sampai
kedatangan Musa. Harun mengetahui bahwa Musa seorang yang kuat yang
mampu mengatasi fitnah ini tanpa harus menumpahkan darah. Sementara itu,
Bani Israil terus menari di sekitar anak sapi. Samiri—mudah-mudahan
Allah SWT melaknatnya—adalah penyebab fitnah ini, dan ia menari-nari
serta berputar-putar di sekeliling berhala.
Al-Qurthubi dalam
tafsirnya pada juz kesebelas menyebutkan fitnah yang timbulkan oleh
Samiri. Qurthubi berkata: "Imam Abu Bakar at-Thurthusi ditanya: "Apa
yang dikatakan oleh pemimpin kita al-Faqih tentang kelompok pria yang
memperbanyak zikrullah dan menyebut Muhammad saw. Sebagian mereka
menari-nari sehingga pingsan. Mereka menghadirkan sesuatu dan
memakannya. Apakah hadir bersama mereka boleh atau tidak? Berilah kami
fatwa, mudah-mudahan engkau diberi pahala." Qurthubi menjawab pertanyaan
ini dengan menukil penjelasan gurunya: "Mazhab sufi (yang beliau
maksudkan adalah orang-orang yang menari-nari yang dipraktekkan oleh
sebagian aliran sufi untuk mengekspresikan zikir) berdasarkan kebodohan
dan kesesatan serta sesuatu yang sia-sia. Islam hanya berdasarkan Kitab
Allah SWT dan sunah Rasul-Nya. Praktek tari-tarian seperti itu adalah
sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh pengikut-pengikut Samiri
ketika mereka menjadikan anak sapi sebagai tuhan mereka. Mereka
menari-nari di sekitarnya dan berkumpul di situ. Itu adalah agama
kekufuran dan penyembahan terhadap anak sapi."
Nabi saw duduk
bersama sahabatnya dan seakan-akan di atas kepala mereka terdapat
burung, karena saking hormatnya mereka terhadap beliau. Hendaklah
penguasa dan wakilnya mencegah orang-orang itu untuk hadir di mesjid dan
selainnya. Dan tidak diperkenankan bagi seorang pun yang beriman kepada
Allah SWT dan hari kemudian untuk hadir bersama orang-orang itu atau
membantu kebatilan mereka. Ini adalah pendapat mazhab Malik, Abu
Hanifah, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain dari para imam kaum
Muslim.
Demikianlah pernyataan al-Qurthubi berkaitan dengan
masalah tersebut. Anda dapat membayangkan sejauhmana kecermelangan
pikirannya dan sejauhmana ketakwaannya. Selanjutnya, kita kembali kepada
kisah Nabi Musa. Nabi Musa turun dari gunung untuk kembali rnenemui
kaumnya. Kemudian ia mendengar teriakan kaum saat mereka menari-nari di
sekitar anak sapi. Kaum itu berhenti ketika melihat Nabi Musa muncul di
depan mereka. Dan tiba-tiba keheningan menyelimuti mereka. Nabi Musa
berteriak dan berkata:
"Dan tatkala Musa telah kembali kepada
kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia: 'Alangkah buruknya
perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianhu!'" (QS. al-A'raf: 150)
Musa
berjalan menuju ke Harun, lalu ia meletakkan papan Taurat dengan
tangannya di atas tanah. Tampaknya api kemarahan telah membakamya. Musa
memegang Harun dari rambut kepalanya sampai rambut jenggotnya sambil
berkata:
"Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu
melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka
apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" (QS. Thaha: 92-93)
Musa
bertanya, "Apakah Harun tidak menaati perintahnya, bagaimana ia
mendiamkan fitnah ini; bagaimana ia tetap bersama mereka dan tidak
meninggalkan mereka serta berlepas diri dari perbuatan mereka; bagaimana
ia tetap diam dan tidak berusaha melawan mereka, bukankah orang yang
diam atau membiarkan suatu kesalahan itu bertanda bahwa ia merestuinya
atau bagian dari kesalahan itu?" Keheningan semakin meningkat ketika
gelora api kemarahan Musa semakin membara. Harun bericara kepada Musa
dan meminta kepadanya untuk melepaskan kepalanya dan jenggotnya karena
mereka berdua berasal dari ibu yang satu. Harun mengingatkan Musa akan
kedekatan hubungannya melalui ibu, bukan melalui ayah agar hal itu lebih
dapat membuat Musa merasa kasihan kepadanya:
"Harun menjawab: 'Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku danjangan (pula) kepalaku.'" (QS. Thaha: 94)
Harun
memberi pengertian kepada Musa bahwa ia sama sekali tidak bermaskud
menentang perintahnya, dan ia pun tidak menunjukkan sikap merestui
penyembahan anak sapi, tetapi ia khawatir jika ia meninggalkan mereka
dan pergi lalu Musa bertanya kepadanya, mengapa ia tidak tetap tinggal
bersama mereka? Mengapa seorangyang bertanggungjawab kepada merekajustru
meninggalkan mereka? Di samping itu, ia juga khawatir jika ia memerangi
mereka dengan kekerasan maka terjadi peperangan di antara mereka. Lalu
Musa akan bertanya kepadanya, mengapa ia membikin perpecahan di antara
mereka dan mengapa ia tidak menunggu kembalinya Musa:
"Sesungguhnya
aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku). 'Kamu telah memecah
antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.'" (QS. Thaha: 94)
Harun berusaha memahamkan saudaranya, Musa, dengan penuh
kelembutan bahwa kaumnya merendahkannya dan mereka nyaris membunuhnya
ketika ia melawan mereka. Ia memohon kepada Musa agar melepaskan
tangannya dari kepalanya dan jenggotnya. Harun memberitahu Musa bahwa ia
bukan termasuk orang jahat sepeti mereka ketika ia bersikap diam
terhadap kelaliman mereka:
"Harun berkata: 'Hai anak ibuku,
sesungguhnya haum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka
membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadihan musuh-musuh gembira
melihatku, dan janganlah kamu masukan aku ke dalam golongan orang-orang
yang lalim.'" (QS. al-A'raf: 150)
Musa menyadari bahwa ia
melalimi Harun dengan kemarahannya di mana kemarahan itu berkobar karena
kecemburuannya terhadap agama Allah SWT dan semata-mata karena
kecintaannya kepada kebenaran. pun mengetahui bahwa Harun telah
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dalam keadaan seperti ini.
Kemudian Musa menarik tangannya dari kepala dan jenggot saudaranya dan
ia meminta ampun kepada Allah SWT bagi dirinya dan bagi saudaranya. Musa
menoleh kepada kaumnya dan bertanya dengan suara yang penuh gelora dan
menunjukkan sikap marah:
"Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah
menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa
yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari
Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?" (QS.
Thaha: 86)
Musa tampak marah dan mengejek mereka dan menunjukkan
betapa bodohnya apa yang mereka lakukan. Dengan kemarahan yang luar
biasa, Musa kembali berkata:
"Sesungguhnya orang-orang yang
menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya) kelak akan menimpa mereka
kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia.
Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang membuat-buat
kebohongan." (QS. al-A'raf: 152)
Hampir saja gunung berguncang
mendengar suara kemarahan Musa, dan Bani Israil menyadari kesalahan
mereka. Kebohongan mereka dan penyimpangan mereka atas kebenaran yang
dibawa oleh Musa tampak jelas. Mereka justru menjauhkan segala karunia
yang Allah SWT berikan kepada mereka dan memilih untuk menyembah berhala
ketika Musa meninggalkan mereka selama empat puluh hari. Mereka kembali
menyembah anak sapi yang terbuat dari emas. Bukankah Allah SWT telah
berjanji kepada mereka agar mereka memegang agama tauhid di bumi?
Musa
menoleh kepada Samiri setelah ia berbicara secara singkat kepada Harun.
Harun telah membuktikan bahwa—sebagai penanggung jawab kaumnya saat
Musa meninggalkan mereka—ia telah menjalankan tugas dengan baik. Bani
Israil tampak tertunduk lesu di depan Musa. Maka orang yang paling
bertanggung jawab adalah orang yang menyebarkan fitnah, yaitu Samiri.
Musa berkata kepada Samiri dalam keadaan api kemarahannya belum juga
padam:
"Berkata Musa: 'Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?" (QS. Thaha: 95)
Musa
bertanya kepadanya tentang kisahnya dan ia ingin mengetahui langsung
darinya apa yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut. Samiri
menjawab:
"Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya." (QS. Thaha: 96)
Aku
melihat Jibril saat ia menunggangi kudanya, dan setiap kali ia
meletakkan kakinya di atas sesuatu maka terjadilah kehidupan padanya:
"Maka aku mengambil segenggam dari jejak rasul." (QS. Thaha: 96)
Aku mengambil segenggam tanah yang dilewati oleh Jibril lalu aku meletakkannya di atas emas:
"Lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku." (QS. Thaha: 96)
Demikianlah
apa yang aku lakukan. Musa tidak mempersoalkannya; Musa tidak
mempersoalkan pengakuan Samiri tetapi ia justru mempersoalkan mengapa
Samiri menentang kebenaran. Adalah hal yang tidak penting bagi Samiri
untuk melihat Jibril lalu ia mengambil bekas tanahnya; adalah hal yang
tidak penting bahwa anak sapi itu tercipta dari tanah yang dilalui dari
kuda Jibril. Yang penting adalah, bahwa Samiri telah melakukan kejahatan
dan menyebarkan fitnah di tengah-tengah kaum Nabi Musa. Dengan
ciptaannya itu, ia mendorong kaum Nabi Musa untuk merasa kagum dengan
para tokoh-tokoh Mesir dan ia meniru para tokoh itu dalam menyembah
berhala. Ini adalah kejahatan yang dengannya Musa ingin menghukum
Samiri:
"Berkata Musa: 'Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu
di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan: 'Janganlah
menyentuh (aku). Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu
sekali-kali tidah dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang
kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian
kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu
yang berserakan).'" (QS. Thaha: 97)
Nabi Musa menjatuhkan
hukuman kepada Samiri dalam bentuk mengasingkannya di dunia. Sebagian
ahli tafsir mengatakan bahwa Musa berdoa agar Samiri tidak disentuh oleh
seorang pun. Melaiui fitnah yang ditimbulkannya, Samiri ingin
menyesatkan Bani Israil dan mendorong mereka untuk menyembah apa yang
diciptakannya. Dan, sekarang ia menerima siksaan yang sesuai dengan
kejahatannya. Samiri merasakan kesendirian dan dibuang dari kaumnya.
Apakah Samiri sakit dengan suatu penyakit kulit yang mengerikan sehingga
manusia menjauhinya dan tidak mau menyentuhnya, bahkan untuk
mendekatinya pun mereka tidak mau? Kita tidak mengetahui apa yang
terjadi padanya sehingga ia terasing dari kaumnya. Yang kita ketahui
adalah, bahwa Musa telah menjatuhkan hukuman yang berat baginya.
Barangkali pembunuhan lebih mudah baginya daripada menanggung beban
berat siksaannya itu. Samiri hidup dalam keadaan terasing dan terhina.
Tidak ada satu makhluk pun yang mendekatinya. Ini adalah siksaan di
dunia dan siksaan di hari kiamat adalah siksaan yang kedua yang lebih
dahsyat.
Setelah mengurus dan mengadili Samiri, Musa bangkit
menuju anak sapi yang terbuat dari emas. Beliau mengambilnya dan
melemparkannya ke api. Musa tidak hanya menghancurkannya di hadapan kaum
yang membisu, bahkan beliau membuangnya ke laut. Tuhan yang mereka
sembah kini menjadi abu yang bertebaran. Kemudian Musa mengangkat
suaranya yang menggelegar:
"Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah,
yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya
meliputi segala sesuatu." (QS.Thaha: 98)
Allah-lah Tuhan kalian,
bukan patung itu yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudarat bagi
dirinya. Setelah Nabi Musa menghancurkan patung itu, beliau menoleh
kepada kaumnya. Nabi Musa telah memberitahu kaumnya bahwa mereka telah
menganiaya diri mereka sendiri. Nabi Musa menyarankan kepada para
penyembah berhala untuk bertaubat. Nabi Musa memberitahukan bahwa siapa
pun yang mengikuti anak sapi tersebut maka ia harus dibunuh.
Allah SWT berfirman:
"Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: 'Hai kaumku,
sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah
menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang
menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu
pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.'"
(QS. al-Baqarah: 54)
Hukuman yang ditetapkan oleh Musa atas para
penyembah anak sapi sangat mengerikan, namun itu setimpal dengan
kejahatan mereka. Menyembah berhala adalah usaha untuk mematikan akal.
Dengan akal, manusia memiliki keistimewaan yang tidak terdapat pada
makhluk-makhluk lainnya. Karena kejahatan itu sangat luar biasa, yaitu
kejahatan yang berupa usaha mematikan fungsi akal maka hukumannya pun
harus berat. Kemudian datanglah rahmat Allah SWT dan Dia menerima taubat
mereka. Sesungguhnya Allah SWT Maha menerima taubat dan Maha Pengasih.
Akhirnya,
kemarahan Musa mulai mereda. Coba Anda renungkan ungkapan Al-Qur'an
al-Karim yang menggambafkan kemarahan Musa dalam bentuk yang realistis:
bagaimana Musa meletakkan papan Taurat, dan bagaimana dia memegang
jenggot saudaranya dan kepalanya dan diakhiri dengan pembuangan atau
penghancuran anak sapi di lautan serta keputusannya untuk membunuh
orang-orang yang menjadikannya sebagai tuhan. Alhasil, kemarahan Musa
mulai mereda; kemarahan Musa adalah kemarahan karena Allah SWT. Itu
adalah kemarahan yang paling tinggi dan layak untuk mendapatkan
kehormatan. Ketika kemarahannya hilang, Musa ingat tugas utamanya, yaitu
bahwa ia meletakkan papan-papan Taurat. Musa kembali mengambil
papan-papan itu dan terus berdakwah di jalan Allah SWT:
Allah SWT berfirman:
"Sesudah
amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat)
itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rah-mat untuk
orang-orang yang takut kepada Tuhannya. " (QS. al-A'raf: 154)
Sebagian
mereka berdalil dengan firmannya: Dan dalam tulisannya, bahwa
papan-papan itu pecah (rusak). Kami tidak mengetahui, apakah papan-papan
itu terbuat dari benda tertentu yang dapat pecah atau tidak. Ibnu
Katsir menepis dalil atau argumen tersebut dan ia berpendapat bahwa
papan-papan itu tetap seperti semula. Alhasil, Musa kembali merasakan
ketenangan dan ia berusaha memperbarui jihadnya di jalan Allah SWT.
Beliau membacakan papan-papan Taurat kepada kaumnya. Mula-mula beliau
memerintahkan mereka agar mengambil hukum-hukumnya dengan penuh kekuatan
dan tekad.
Ironis sekali, bahwa kaum Nabi Musa mencoba
menawar-nawar kebenaran. Mereka mengatakan: "Sebarkanlah kepada kami isi
papan-papan itu, jika perintahnya dan larangannya mudah maka kami akan
menerimanya." Musa berkata: "Kalian harus menerima apa saja yang ada di
dalamnya." Kemudian mereka terus melakukan tawar-menawar. Akhirnya,
Allah SWT memerintahkan para malaikatnya untuk mengangkat gunung di atas
kepala mereka hingga gunung itu seakan-akan menjadi awan yang
menyelimuti mereka. Dikatakan kepada mereka: jika kalian tidak menerima
apa saja yang di dalamnya maka gunung itu akan ambruk menimpa kalian.
Mendengar ancaman itu, mereka pun menerimanya. Lalu mereka diperintahkan
untuk sujud dan mereka pun sujud. Mereka meletakkan pipi mereka di atas
tanah. Mereka mulai melihat gunung dengan penuh ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"Dan
(ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan
bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh
menimpa mereka (dan Kami katakan kepada mereka): 'Peganglah dengan teguh
apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu
(amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi
orang-orang yang bertakwa.'" (QS. al-A'raf: 171)
Demikianlah
bahwa kaum Nabi Musa tidak serta merta berserah diri kecuali pada
saat-saat kritis di mana mukjizat luar biasa mampu menakutkan mereka dan
menggetarkan hati mereka sehingga mereka sujud secara terpaksa. Manusia
pada saat itu terpaksa beriman karena berhadapan dengan "tongkat
Ilahi". Hal yang demikian ini biasanya berlaku kepada anak-akan kecil
dan pada saat manusia kehilangan kesadaran dan kematangan yang cukup
sehingga akalnya tidak berfungsi secara sehat.
Barangkali di
sini kami ingin untuk kesekian kalinya mengemukakan keadaan kaum Nabi
Musa. Mereka tidak begitu saja puas dengan mukjizat yang luar biasa.
Kaum Nabi Musa telah terdidik di bawah kehinaan dan penindasan sehingga
mereka kehilangan nilai-nilai kemanusiaan mereka dan fitrah mereka telah
tercemar. Kehinaaan yang telah tertanam dalam jiwa mereka dan mereka
telah terbiasa dengannya menyebabkan mereka tidak mudah untuk diajak
menuju kebaikan, kecuali jika mereka telah mendapatkan tekanan atau
kekerasan.
Dahulu mereka terbiasa untuk menaati para tokoh
mereka setelah mereka ditekan maka sekarang ketika mereka berhadapan
dengan tokoh mereka yang baru, yaitu keimanan, mereka pun harus digiring
dengan menggunakan bahasa kekerasan. Kejahatan penyembahan anak sapi
bukan tidak membawa pengaruh apa-apa. Musa memerintahkan kepada ulama
Bani Israil dan orang-orang baik di antara mereka untuk meminta ampun
kepada Allah SWT dan bertaubat kepadanya. Musa memilih tujuh puluh
laki-laki di antara mereka yang paling baik sambil berkata: "Pergilah
kalian menuju Allah SWT dan bertaubatlah kepada-Nya atas apa saja yang
kalian lakukan. Berpuasalah kalian, sucikanlah jiwa kalian, dan
bersihkanlah pakaian kalian."
Musa keluar bersama tujuh puluh
orang-orang yang terpilih itu untuk memenuhi perjumpaan yang telah
ditentukan oleh Allah SWT. Musa mendekati gunung, dan tiba-tiba
sekawanan awan menyelimuti gunung. Musa masuk ke dalam awan dan berkata
kepada kaum: "Mendekatlah, mendekatlah." Allah SWT berbicara kepada
Musa. Setiap kali Musa berbicara dengan Allah SWT maka tampak di atas
dahinya suatu cahaya yang bersinar. Tidak ada seorang pun dari manusia
yang dapat melihatnya. Diletakkan suatu tabir (penutup) di sekeliling
Musa saat ia berbicara kepada Tuhannya. Tujuh puluh orang yang dipilih
oleh Musa itu mendengar percakapan antara Musa dan Tuhannya. Barangkali
mukjizat yang seperti ini seharusnya menjadi mukjizat yang terakhir yang
cukup dapat membangkitkan keimanan di dalam hati sepanjang kehidupan,
namun ketujuh puluh orang yang dipilih itu tidak cukup dengan apa yang
mereka dengar dari mukjizat itu. Mereka justru meminta agar dapat
melihat Allah SWT. Mereka mengatakan: "Kami telah mendengar dan kami
ingin melihat." Dengan nada polos, mereka berkata:
"Wahai Musa, kami tidak ingin beriman kepadamu sehingga kami melihat Allah dengan terang-terangan. "(QS. aI-Baqarah: 55)
Ini
adalah tragedi yang sangat mengherankan; suatu tragedi yang menunjukkan
kekerasan hati dan ketergantungannya terhadap materi atau fisik.
Permintaan yang menunjukkan sikap keras kepala ini cukup sebagai syarat
untuk datangnya siksaan yang mengerikan. Kemudian mereka disiksa dengan
suara yang menggelegar yang menghancurkan roh dan jasad. Mereka pun
mati. Musa mengetahui apa yang terjadi dengan tujuh puluh orang yang
terpilih tersebut sehingga hatinya merasa sedih dan ia berdoa kepada
Tuhannya agar mengampuni mereka dan merahmati mereka serta tidak
menyiksa mereka karena kesalahan orang-orang yang bodoh di antara
mereka. Permintaan mereka agar dapat melihat Allah SWT adalah
menunjukkan kebodohan mereka yang luar biasa; suatu kebodohan yang harus
dibayar mahal, yaitu dengan kematian.
Seorang nabi terkadang
memohon untuk melihat Tuhan-Nya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa.
Meskipun permintaan itu bertitik tolak dari sumber cinta yang dalam yang
sulit untuk digambarkan, yang dapat dibenarkan dengan logika yang
khusus, namun permintaan untuk melihat Tuhan tetap dianggap sebagai
tindakan yang melampaui batas yang karenanya Musa "dihukum" dengan
pingsan. Anda dapat membayangkan bagaimana jika permintaan tersebut
berasal dari manusia-manusia yang salah; manusia-manusia yang ketika
ingin melihat Tuhan, mereka menentukan tempatnya dan waktunya, bahkan
mereka mensyaratkan agar pengelihatan ini terjadi dengan jelas atau
terang-terangan. Mereka adalah manusia yang menggantungkan keimanan
mereka berdasarkan penglihatan ini, padahal mereka telah menyaksikan
berbagai macam mukjizat dan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Bukankah
ini adalah kebodohan yang besar? Nabi Musa berdiri dan berdoa kepada
Tuhannya dan meminta belas kasih-Nya dan ridha-Nya.
Allah SWT berfirman:
"Dan
Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat
kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketiha mereka
digoncang gempa bumi, Musa berkata: 'Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki,
tentulah Engkau membinasakan mereka dan ahu setelah ini. Apakah Engkau
membinasakan kami karena orang-orang yang kurang akal di antara kami?
Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa
yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau
kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan
berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan
tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat;
sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf:
155-156)
Demikianlah kalimat-kalimat Musa kepada Tuhannya saat
ia berdoa kepada-Nya untuk meminta belas kasih-Nya dan ridha-Nya. Allah
SWT ridha kepada mereka dan mengampuni kaum Nabi Musa di mana Allah SWT
menghidupkan mereka setelah kematian mereka. Orang-orang yang terpilih
itu mendengar di saat-saat yang mengagumkan ini dari sejarah kehidupan
sampai berita kedatangan Muhammad bin Abdilah saw.
"Allah
berfirman: 'Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan
rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku
untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang
yang beriman kepada ayat-ayat Kami. '(Yaitu) orang-orang yang mengikut
Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati yang tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
untuk mengerjakan makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan nwnghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (QS. al-A'raf: 156-157)
Kita akan memperhatikan
metode hubungan antara masa sekarang dan masa yang lalu dalam ayat
tersebut. Allah SWT melampaui waktu dialog bersama rasul dalam ayat-ayat
tersebut pada dua waktu yang dahulu, yaitu turunnya Taurat dan turunnya
Injil untuk menetapkan bahwa Allah SWT membawa berita gembira dengan
kedatangan Nabi Muhammad saw dalam dua kitab yang mulia itu. Kami kira
bahwa berita gembira ini datang pada hari di mana Musa mendatangkan
tujuh puluh orang dari kaumnya, yaitu para ulama Bani Israil dan
orang-orang yang mulia di antara mereka untuk menemui Tuhannya. Pada
hari yang penting ini—disertai dengan mukjizat-mukjizatnya yang
besar—ditetapkanlah suatu kabar gembira dengan datangnya Nabi yang
terakhir.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Qishashul Anbiya' berkata
(menukil riwayat dari Qatadah): "Musa berkata kepada Tuhannya, 'ya
Tuhanku, aku mendapati dalam papan-papan Taurat suatu umat yang lebih
baik dari umat yang lain; mereka menyeru kepada hal yang makruf dan
mencegah hal yang mungkar. Ya Allah, jadikanlah mereka umatku." Allah
SWT berkata: "Itu adalah umat Muhammad saw."
Musa berkata: "Ya
Tuhanku, aku mendapati dalam papan Taurat suatu umat yang aku adalah
generasi mereka di mana mereka mampu menghafal sedangkan umat-umat
sebelum mereka membaca dengan melihat buku sehingga ketika buku itu
disingkirkan dari mereka, mereka tidak lagi mampu menghafalnya dan tidak
lagi mengetahuinya." Allah SWT memberi mereka suatu kemampuan menghafal
yang belum pernah diberikan-Nya kepada seseorang pun dari umat-umat
sebelumnya. "Ya Allah, jadikanlah mereka umatku. " Allah SWT berkata:
"Itu adalah umat Muhammad saw."
Musa berkata: "Tuhanku, aku
mendapati di papan Taurat suatu umat yang beriman kepada kitab yang
pertama dan yang terakhir dan mereka memerangi pasukan kesesatan.
Jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu adalah umat Muhammad
saw."
Musa berkata: "Tuhanku, aku mendapati dalam papan Taurat
suatu umat di mana mereka dapat memakan sedekah dalam perut-perut mereka
dan mereka mendapatkan pahala darinya, sedangkan umat-umat sebelum
mereka jika salah seorang mereka bersedekah dengan suatu sedekah lalu
diterimanya, maka Allah SWT akan mengirim api dan membakarnya dan jika
dikembalikan padanya maka ia akan dimakan oleh binatang buas dan burung.
Dan Allah SWT mengambil sedekah orang-orang yang kaya di antara mereka
untuk diberikan kepada orang-orang yang fakir dari mereka. Wahai
Tuhanku, jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu adalah umat
Muhammad saw."
Musa berkata: "Tuhanku, aku mendapati dalam papan
Taurat suatu umat jika salah seorang mereka berhasrat untuk melakukan
suatu kebaikan kemudian ia melakukannya maka ditulis baginya sepuluh
kali lipat kebaikan dari kebaikannya itu sampai tujuh puluh ratus lipat.
Jadikanlah mereka umatku." Allah SWT berkata: "Itu adalah umat Muhammad
saw."
Musa senantiasa mendoakan kaumnya kepada Allah SWT.
Tampak bahwa jiwa mereka dipenuhi dengan sikap pembangkangan dan keras
kepala. Sifat itu semakin nyata ketika kita mengetahui cerita tentang
anak sapi atau kasus tentang sapi. Dalam peristiwa itu, kita disodorkan
dengan berbagai perundingan yang tidak perlu antara mereka dan Nabi
Musa. Semua itu berasal dari sikap keras kepala. Asal-muasal kisah sapi
itu adalah, pada suatu hari ditemukan seorang kaya terbunuh di
tengah-tengah Bani Israil. Kemudian terjadilah percekcokan di antara
keluarganya karena mereka tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Kasus ini
cukup memusingkan mereka sehingga mereka menemui Musa. Tampaknya lelaki
yang terbunuh ini memiliki tempat yang istimewa di kalangan Bani Israil.
Misteri pembunuhannya akan mendatangkan fitnah di tengah-tengah mereka.
Oleh karena itu, Bani Israil mendatangi Musa dan memohon kepada Musa
untuk meminta petunjuk kepada Tuhannya.
Musa pun meminta
petunjuk kepada Tuhannya, lalu Allah SWT memerintahkannya agar menyuruh
kaumnya untuk menyembelih sapi. Semula ditetapkan bahwa kaum Nabi Musa
diperintahkan untuk menyembelih sapi yang pertama kali mereka temui,
tetapi karena sikap keras kepala mereka, mereka mulai melakukan
tawar-menawar dan berunding dengan Musa. Mereka menuduh bahwa Musa
mengejek mereka dan tidak serius dengan masalah yang mereka hadapi. Musa
berlindung kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar jangan sampai
digolongkan bersama orang-orang yang bodoh, apalagi bermaksud mengejek
mereka. Musa berusaha memberikan pengertian kepada mereka bahwa kunci
dari masalah itu dapat diselesaikan dengan penyembelihan sapi.
Masalahnya di sini adalah masalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan
sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan atau sesuatu yang biasa
dilakukan oleh manusia. Tidak ada hubungan antara penyembelihan sapi dan
usaha mengetahui pembunuh. Tetapi, kapankah sebab-sebab rasional mampu
menundukkan Bani Israil? Mukjizat yang luar biasa merupakan kunci dan
senjata yang biasa berlaku dalam kehidupan Bani Israil. Oleh karena itu,
penyelesaian kasus tersebut dengan cara menyembelih sapi seharusnya
tidak menimbulkan gejolak dan kegelisahan. Tapi, Bani Israil adalah Bani
Israil. Seringkali pergaulan dan hubungan dengan mereka berakhir dengan
sikap pembangkangan. baik berkenaan dengan masalah kehidupan biasa
sehari-sehari maupun yang terkait dengan masalah akidah yang penting.
Musa
menghadapi berbagai bentuk ujian dan tuduhan dari Bani Israil. Musa
berusaha memberi pengertian kepada mereka bahwa beliau serius untuk
menyelesaikan kasus mereka dan tidak bermaksud mempermainkan mereka.
Musa kembali menegaskan bahwa untuk menyelesaikan hal itu mereka harus
menyembelih sapi. Karakter khas Bani Israil muncul kepermukaan. Mereka
bertanya, apakah itu sapi yang biasa sebagaimana yang mereka temui
ataukah ia ciptaan yang lain yang memiliki keistimewaan. Mereka
mengharap Musa agar meminta petunjuk kepada Tuhannya sehing-ga hal
tersebut menjadi jelas bagi mereka.
Musa berdoa kepada Tuhannya.
Kemudian mereka mendapatkan kesulitan di mana sapi yang seharusnya
mudah mereka dapati, kini mereka mendapatkan kriteria sapi yang sangat
rumit, yaitu sapi yang tidak tua dan tidak muda, yakni yang
sedang-sedang saja. Demikianlah ketetapan Ilahi itu. Tetapi lagi-lagi
perundingan masih berlangsung. Lalu mereka mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan yang aneh: apa warna sapi ini, mengapa Musa tidak
berdoa kepada Tuhannya dan menjelaskan warna sapi ini. Beginilah, mereka
tidak menunjukkan sikap sopan dan hormat kepada Allah SWT dan kepada
nabi-Nya yang mulia. Seharusnya mereka patuh terhadap perintah itu dan
tidak bertanya yang macam-macam, namun mereka justru mempersoalkan
masalah yang sederhana ini dengan sikap penentangan dan keras kepala.
Lagi-lagi
Musa bertanya kepada Tuhannya dan memberitahu tentang warna sapi yang
dimaksud. Musa mengatakan bahwa sapi itu berwarna kuning yang warnanya
mengundang kekaguman orang yang melihatnya. Demikianlah sifat sapi itu
ditentukan di mana ia berwarna kuning yang warnanya agak
kemerah-merahan. Meskipun masalah ini sudah sangat jelas, mereka kembali
menunjukkan sikap pembangkangan dan keras kepala. Maka Allah SWT pun
memperketat syarat sapi itu sebagaimana mereka berusaha untuk menyakiti
hati Nabi Musa. Mereka kembali bertanya kepada Nabi Musa dan meminta
kepadanya agar berdoa kepada Tuhannya dan meminta penjelasan tentang
hakikat sapi itu, karena bagi mereka sapi itu masih samar. Musa
memberitahu mereka bahwa sapi itu tidak disiapkan untuk membajak sawah
atau untuk memberi minum; ia sapi yang sehat dan tidak cacat; dan sapi
itu benar-benar berwarna kuning. Berakhirlah sikap pembangkangan mereka.
Mereka mulai mencari sapi yang dimaksud yang memiliki sifat yang khusus
ini. Akhirnya, mereka menemukan sapi itu yang dimiliki oleh seorang
anak yatim. Lalu mereka membelinya dan menyembelihnya.
Musa
memegang ekor sapi itu lalu memukulkannya kepada orang yang terbunuh.
Tiba-tiba, orang itu bangkit dari kematiannya. Musa bertanya padanya
tentang siapa yang membunuhnya. Lalu ia pun menceritakan siapa yang
membunuhnya dan ia mati lagi. Bani Israil menyaksikan mukjizat
penghidupan orang yang mati itu. Mereka mendengarkan dengan telinga
mereka sendiri nama si pembunuh. Akhirnya, misteri pembunuhan itu
tersingkap.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika
Musa berkata hepada kaumnya: 'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina.' Mereka berkata: 'Apakah hamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?' Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah
agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yangjahil.' Mereka
menjawab: 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan
kepada kami, sapi betina apakah itu?' Musa menjawab: 'Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu.' Mereka berkata: 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.' Alusa
menjawab: 'Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya.' Mereka berkata: 'Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat
sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami
dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu). Musa berkata: 'Sesungguhnya Allah berfirman bakwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat,
tidak ada belangnya.' Mereka berkata: 'Sekarang barulah kamu menerangkan
hakikat sapi betina yang sebenarnya.' Kemudian mereka menyembelihnya
dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah)
ketika kamu membunuh seorang manu-sia lalu kamu saling tuduh-menuduh
tentang itu. Dan Allah menyingkirkan apa yang selama ini kamu
sembunyikan. Lalu Kami berfirman: 'Pukullah mayat itu dengan sebagian
anggota sapi betina itu!' Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda
kekuasaan-Nya agar kamu mengerti." (QS. al-Baqarah: 67-73)
Kami
ingin menarik perhatian pembaca kepada sikap kurang ajarnya kaum itu
kepada nabi mereka dan Tuhan mereka. Dan barangkali konteks Al-Qur'an
menyinggung hal itu dengan cara menunjukkan pengulangan kata rabbuka
(Tuhanmu) yang mereka gunakan saat berbicara dengan Musa. Seharusnya
ketika mereka berbicara dengan Musa—sebagai bentuk sopan santun—mereka
mengatakan: Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan kami, atau mereka
berkata kepadanya: Berdoalah bagi kami kepada Tuhanmu. Dengan kata
tersebut, seakan-akan keyakinan kepada ketuhanan hanya dipercaya oleh
Musa sedangkan mereka keluar dari kemu-liaan penghambaan kepada Allah
SWT. Perhatikanlah ayat-ayat tersebut, bagaimana ia mengisyaratkan hal
ini. Kemudian renung-kanlah ejekan mereka ketika mereka mengatakan:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya. "
Setelah mereka menyulitkan dan membuat Nabi mereka letih saat
mondar-mandir antara menemui mereka dan menemui Allah SWT, setelah
mereka membuat Nabi mereka jengkel dengan per-tanyaan seputar sifat
sapi, warnanya, usianya, dan tanda-tanda khu-susnya; setelah sikap keras
kepala mereka dan pembangkangan mereka terhadap perintah Allah SWT,
mereka berkata kepada Nabi mereka—ketika beliau membawa kepada mereka
sesuatu yang jarang sekali ditemukan, "Sekarang barulah kamu meneranghan
hakikat sapi betina yang sebenarnya. "
Seakan-akan Nabi Musa
sebelumnya bermain-main dengan mereka dan tidak serius, dan seolah-olah
apa yang beliau katakan sebelumnya tidak menunjukkan kebenaran sedikit
pun. Kemudian lihatlah konteks ayat tersebut yang menunjukkan kelaliman
mereka: "Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu."
Tidakkah ayat tersebut menunjukkan
kepada Anda akan sikap keras kepala mereka dan usaha mereka memperlambat
atau menunda perintah Allah SWL Demikianlah sikap Bani Israil di atas
meja perundingan; demikianlah cara mereka berunding dengan Nabi mereka
yang mulia, yaitu Musa. Musa mendapatkan perlakuan yang keras dan
perlakuan tidak sopan dari kaumnya. Nabi Musa menahan beban penderitaan
yang berat saat beliau berdakwah di jalan Tuhannya. Barangkali problem
utama yang dialami Nabi Musa adalah, bahwa beliau diutus di
tengah-tengah kaum yang cukup lama merasakan dan menikmati kehinaan;
cukup lama mereka hidup di bawah pengekangan dan belenggu kebodohan.
Mereka belum pernah merasakan aroma kebebasan. Mereka cukup lama
menyembah berhala. Bani Israil telah menyiksa Musa dengan siksaan yang
berat, di mana siksaan itu tidak hanya berkisar pada penentangan dan
sikap kebodohan serta penyembahan berhala, bahkan mereka pun tidak
segan-segan menyakiti pribadi Musa.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Ahzab:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang
yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan
yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan
terhormat di sisi Allah." (QS. al-Ahzab: 69)
Kami tidak
mengetahui hakikat atau bentuk usaha menyakiti Nabi Musa ini. Kami tidak
setuju dengan riwayat ulama yang mengatakan bahwa Musa adalah seorang
lelaki yang sangat pemalu dan ia sangat tertutup di mana ia tidak ingin
seorang pun melihat tubuhnya. Kemudian orang-orang Yahudi menuduh bahwa
beliau mempunyai penyakit kulit atau belang lalu Allah SWT ingin
menyembuhkannya dan berusaha menepis apa yang mereka katakan.
Diceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Musa pergi untuk mandi. Ia
meletakkan bajunya di atas batu, kemudian beliau keluar. Tiba-tiba, batu
itu terbang dan membawa bajunya. Musa berlari di belakang batu dalam
keadaan telanjang sehingga Bani Israil menyaksikannya dalam keadaan
telanjang. Ternyata tidak ada tanda belang pada kulitnya. Kami sangat
menentang kisah seperti itu, karena di samping ia hanya khurafat, juga
sangat bertentangan dengan kehormatan Musa sebagai seorang Nabi dan
kemaksumannya. Barangkali penderitaan terbesar yang dialami oleh Musa
adalah, saat Bani Israil enggan untuk berperang dalam rangka menyebarkan
akidah tauhid di bumi, atau paling tidak membiarkan akidah ini menetap
di bumi. Bani Israil menentang usaha Musa untuk berperang dengan
mengatakan kepada Musa suatu kalimat yang terkenal, yaitu:
"Pergilah
Kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami
hanya duduk menanti di sini saja." (QS. al-Maidah: 24)
Demikianlah
keadaan Bani Israil sehingga Allah SWT menyiksa mereka dengan cara
menyesatkan mereka. Mereka mengalami kesesatan selama empat puluh tahun
penuh. Kemudian satu generasi musnah; generasi yang kalah dari dalam.
Lalu lahirlah di tengah-tengah kesesatan itu generasi yang baru;
generasi yang belum pernah tunduk kepada penyembahan berhala; generasi
yang tidak pernah lumpuh rohnya karena kehilangan kebebasan; generasi
yang rohnya sehat; generasi yang belum memahami, mengapa orang-orang
tuanya berkeliling tanpa tujuan di tengah-tengah kesesatan; generasi
yang siap untuk membela harga dirinya dan kemuliaannya; generasi yang
tidak berkata kepada Musa, pergilah engkau bersama Tuhanmu untuk
berperang, sedangkan aku hanya duduk-duduk di sini; generasi yang
menegakkan nilai-nilai kebenaran sebagai wujud pembelaan terhadap agama
tauhid.
Akhirnya, generasi ini lahir di tengah-tengah empat
puluh tahun masa kesesatan, namun Musa harus menjalani suatu takdir Nabi
Musa meninggal secara damai dan mulia. Nabi Musa rindu untuk melihat
"wajah" Allah SWT. Di masa hidupnya, cinta telah mendorongnya untuk
diperkenankan melihat Allah SWT, dan dorongan itu semakin menguat saat
kematiannya. Nabi yang diajak bicara oleh Allah SWT itu kini bertemu
dengan-Nya dengan jiwa yang diridhai dan hati yang tenang.♦
Nabi Musa As dan Nabi Harun As (Bagian II)
Penulis By Unknown on November 25, 2015 | No comments
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya











